BAHAGIA: Agustina Dedal di tengah para siswa di Sekolah Indonesia Davao, Filipina.
Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos
Nasib guru honorer yang memprihatinkan ternyata
juga dialami guru-guru tidak tetap yang mengabdi di luar negeri. Salah
satunya adalah Agustina Dedal yang sudah 31 tahun mengajar di Sekolah
Indonesia Davao (SID) Filipina. Berikut laporan wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN yang baru pulang dari sana.
GURAT kecantikan tersisa di wajah Agustina Dedal. Meski usianya sudah 63
tahun, dia masih terlihat ayu di balik senyumnya yang selalu
mengembang. "Ini yang membuat kelihatan awet muda," ujar perempuan
kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 10 Agustus 1949, itu lantas tersenyum.
Secara fisik, sehari-hari selama puluhan tahun Dedal "panggilannya"
menetap di Davao, Filipina. Dia juga mempunyai suami berkewarganegaraan
Filipina. Namun, hingga hari ini Dedal masih tercatat sebagai warga
negara Indonesia (WNI). Dia enggan pindah menjadi warga negara tetangga
tersebut.
"Saya masih sangat cinta tanah air. Biarlah begini saja," ujarnya di
sela-sela menyambut kunjungan rombongan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di Sekolah Indonesia Davao (SID),
Sabtu lalu (24/11).
Dia juga begitu bangga menjadi bagian dari sekolah milik KJRI (Konsulat
Jenderal Republik Indonesia) Davao tersebut. Karena itu, Dedal sangat
antusias ketika diminta menceritakan suka dukanya menjadi guru di negeri
rantau tersebut, meski berstatus guru honorer.
Kompleks SID menempati gedung dua lantai di belakang kantor KJRI Davao.
Sekilas, sekolah itu tampak seperti penjara dengan pagar besi menjulang
yang mengelilingi. Di dalamnya kini belajar 51 siswa SD, 32 siswa SMP,
dan 38 siswa SMA. Mereka diajar 15 guru yang dibantu dua staf
administrasi.
Seluruh siswa SID adalah anak-anak WNI yang "menetap" di Davao. Orang
tua mereka mencari nafkah di salah satu destinasi wisata Filipina itu.
Mereka belajar dengan sistem asrama.
Ironisnya, lantaran sejak kecil berada di negeri jiran, anak-anak
tersebut sampai tidak mengenal bahasa ibu sendiri, bahasa Indonesia.
Mereka lebih fasih berbahasa Tagalog, bahasa setempat.
"Kondisi itulah yang membingungkan siswa. Padahal, mereka sangat cinta
Indonesia. Mereka ingin sekali berkunjung ke Indonesia suatu saat
nanti," ujar Dedal kepada Jawa Pos.
Ibu dua anak tersebut menceritakan, dirinya mengajar di SID sejak Juli
1981. Itu berarti separo hidupnya diabdikan untuk mendidik anak-anak WNI
di Davao. Meski sudah puluhan tahun mengajar di sekolah Indonesia,
sampai saat ini statusnya masih saja guru honorer. "Sejatinya seperti
yang lain, saya juga ingin jadi PNS," ujar istri mendiang Mansueto Dedal
tersebut.
Tetapi, ketika gerbong mutasi guru honorer menjadi PNS dibuka lebar
belakangan ini, usianya sudah terlalu tua. Aturan pemerintah Indonesia
menutup akses pengangkatan guru honorer yang berusia 60 tahun menjadi
PNS.
Dedal kemudian bercerita awal mula dirinya "terdampar" menjadi guru di
SID. Memang, saat masih di Manado, dirinya sempat menjadi guru di SDN
Remboken. Namun, setelah menikah dengan pria Filipina, Dedal terpaksa
berhenti mengajar karena diboyong ke negara suami.
Nah, ketika mengurus dokumen izin tinggal, petugas KJRI Davao mengetahui
bahwa Dedal pernah menjadi guru SD. Kebetulan, waktu itu SID sedang
kekurangan guru. "Saya ditawari untuk jadi guru anak-anak WNI di Davao.
Setelah pikir-pikir, saya bersedia karena membuat saya tidak akan
melupakan Indonesia," tuturnya.
Awal-awal bekerja, Dedal mendapat gaji sekitar 600 peso (dengan kurs
sekarang 1 peso = Rp 233,52, berarti sekitar Rp 139.800). Dengan gaji
sebesar itu, keluarga Dedal hanya bisa hidup secara sederhana. Sebab,
profesi suaminya tidak menentu. Kadang menjadi petani, kadang pula
nelayan.
Dedal menuturkan, saat awal bekerja, kondisi keamanan Davao masih rawan
dan mencekam. Perampok berkeliaran di mana-mana. Keamanan warga
terancam. Sementara itu, jarak antara rumah Dedal dan sekolah tak
terlalu jauh. Kira-kira bisa ditempuh dalam 20 menit jalan kaki. Meski
begitu, dia mengaku sering merasa dikuntit penjahat jalanan.
"Penjahatnya sama dengan perampok di Indonesia. Bahkan, bisa jadi lebih
kejam. Mereka membawa golok dan pedang," ucap Bu Guru yang masih fasih
berbahasa Indonesia itu.
Kiprah Dedal dimulai sebagai guru bahasa Indonesia. Sampai sekarang, 31
tahun kemudian, pun dia tetap mengajar bahasa Indonesia. Hanya, dia
mengaku, menjadi guru bahasa Indonesia di Davao tidak semudah guru
bahasa Indonesia di kampung halaman.
Menurut dia, bahasa yang dikuasai anak-anak WNI yang menetap di Filipina
benar-benar berbeda dari bahasa Indonesia. Mereka rata-rata menggunakan
bahasa Tagalog untuk komunikasi sehari-hari. Mereka membutuhkan waktu
enam bulan untuk sekadar mengenal dasar-dasar bahasa Indonesia.
Dedal pun harus bekerja dua kali untuk mengajari siswa berbahasa
Indonesia. Dia mesti lebih dulu menerjemahkan buku pelajaran bahasa
Indonesia yang dipakai ke bahasa Tagalog sebelum mengajarkannya. Setelah
itu, dengan perlahan dia mengubah ucapan Tagalog para siswa ke bahasa
Indonesia.
"Benar-benar pekerjaan yang butuh ketelatenan. Tetapi, saya enjoy.
Buktinya, saya tetap mau mengajar mereka meski diupah honorarium,"
paparnya.
Pada waktu senggang, Dedal sering mengajak para siswa berbincang-bincang
santai tentang Indonesia. Hatinya sering trenyuh ketika ada siswa yang
bertanya tentang tanah air nenek moyangnya. Kalau sudah begitu, dia lalu
membuka peta Indonesia dan menceritakan kehebatan negara khatulistiwa
itu.
"Anak-anak kelihatan begitu takjub mendengar paparan cerita saya. Mereka
tampak penasaran ingin mengetahui langsung seperti apa Indonesia,"
ungkapnya.
Hingga kini Dedal masih belum berpikir untuk pensiun. Dia masih ingin
melihat siswa-siswanya berhasil. Karena itu, meski menjadi guru honorer,
dia menyatakan tidak masalah. Apalagi, kini honor plus tunjangan
mengajarnya sudah berlipat, menjadi sekitar 30 ribu peso (sekitar Rp 7
juta) per bulan.
"Jika dibuat cukup, ya cukup. Jika tidak cukup, ya tidak cukup. Jadi, ya dicukup-cukupkan," tuturnya pelan.
Terlepas dari urusan status PNS dan penghasilan, Dedal mengaku sudah
bisa menerima keadaan. Jika sewaktu-waktu diberhentikan sebagai guru
karena usianya yang terus merambat tua, dia akan menerima. Apalagi
setelah mengetahui banyak muridnya yang kini berhasil menjadi "orang".
Ibu Michael Dedal dan Immanuel Dedal tersebut mengungkapkan, banyak
alumnus SID yang sudah sukses. Misalnya, menjadi diplomat di Kementerian
Luar Negeri (Kemenlu) Filipina atau menjadi staf di KJRI Davao. Ada
pula yang menjadi pendeta atau profesional di Arab Saudi. "Saya bangga
mendengar murid-murid saya berhasil dalam kehidupannya," tegas Dedal.